Istilah "Posmodernisme" bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bisa berarti : aliran pemikiran filsafati; pembabakan sejarah (erat terkait pada pergeseran paradigma); ataupun sikap dasar/ etos tertentu. Masing-masing membawa konsekuensi logis yang berbeda, meskipun bisa saling berkaitan juga. Apabila yang kita maksudkan adalah aliran fllsafat, maka ia menunjuk terutama pada gagasan-gagasan J.F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah itu. Namun bila yang kita maksud adalah babakan sejarah baru yang meninggalkan kerangka berpikir modern ("Pos" modern), maka mereka yang paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks, Andreas Huysen, David Harvey dll. Di sini orang bisa berdebat dengan sangat nyinyir kapan persisnya terjadi pergeseran paradigma besar-besaran dan apa persis yang bergeser itu sehingga bisa menyebut zaman ini "post"-modern. Jangan-jangan segala pergeseran itu justru radikalisasi dan segala kecenderungan modern sendiri, sehingga alih-alih "post", semua gelagat itu mesti disebut "most" : most-modern. Pada titik inilah kita mesti mendudukan berbagai wacana dan orang-orang macam Habermas, Anthony Giddens, Ernest Geliner dsb.
Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa
inkubasi yang cukup lama. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah
yang pertama kali menggunakan istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa
istilah tersebut muncul pada suatu waktu pada tahun 1930-an. Salah satu pemikir
postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme
adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya
“Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana” (1934), de Onis
memperkenalkan istilah tersebut untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup
modernisme.
Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah
tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul “Study of
History”. Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai,
meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat
Perang Dunia I berlangsung atau semenjak tahun 1870-an. Menurut analisa
Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin
merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa
transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan
relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat
ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru.
Postmoderisme menunjuk kepada
suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide,
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas
menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana
postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana
ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta – ketika
postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern.
Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan
karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol,
yaitu:
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme
kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan
perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya
menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa
telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam
artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional,
tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul
diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap
kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya
untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan
apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat
kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat
roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada
"lingkaran pinggir".
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok
untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan
bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara
ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali
mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut
"era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.
Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat
mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola
hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan
individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun
pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung
ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran
metafisika dan agama.
Baik dari aspek kajian sosiologis maupun intelektual-filosofis,
isu postmodernisme muncul sebagai agenda wacana masyarakat Barat. Sejak 6 abad
terakhir praktis kepemimpinan dunia dipegang oleh Barat, setelah sebelumnya
oleh dunia Islam. Dunia Islam jauh ketinggalan dalam menyumbangkan peradaban
sains dan teknologi dan kreasi-kreasi lain. Islam sebagai paradigma syariat dan
teologi memang kelihatan masih kokoh (untuk tidak mengatakan jumud atau
beku), tetapi Islam sebagai paradigma peradaban berada di luar panggung
permainan, dan cenderung sebagai penonton yang "cemburu".
Sejarah mencatat bahwa loncatan-loncatan kreasi dan inovasi
intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan
dengan Barat. Hal ini terjadi begitu menyolok ketika Islam berjumpa dengan
warisan intelektual Yunani. Karya-karya intelektual Islam terbaik dan amat
monumental terbentuk pada abad-abad pertengahan di mana pergulatan berlangsung
begitu intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir muslim Arab Persia khususnya.
Kontak kedua yang juga amat menentukan dalam perkembangan Islam
terjadi pada awal abad ke-20 ini. Gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam
Islam merebak setelah Islam berjumpa dengan Barat modern. Hampir semua tokoh
modernis dalam Islam adalah mereka yang memiliki apresiasi kritis terhadap
intelektualisme Barat. Pada fase ini kontak dengan Barat memberikan pencerahan
dalam pemikiran politik dan apresiasi teknologi. Pada penghujung abad 20 ini,
setelah Perang Dunia I dan II kelihatannya pola hubungan Islam-Barat melahirkan
nuansa-nuansa baru. Pada fase ketiga inilah postmodernisme masuk sebagai salah
satu agenda, meskipun bagi mayoritas pemikir muslim, ia tetap merupakan bagian
tak terpisahkan dari paradigma westernisme-modernisme.
Dengan mengamati buku-buku mutakhir yang berkenaan dengan hubungan
Barat dan Islam, terdapat indikasi yang kuat bahwa respons dunia Islam,
terdapat Barat lebih diwarnai dengan semangat politis-ideologis. Karya John Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality?
(1992), dengan bagus mencoba menjelaskan hubungan Barat dan Islam yang selalu
ditandai konflik.
Menurut Hassan Hanafi,
sebagaimana dikemukakan oleh Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam: Antara
Modernisme dan Postmodernisme (1993), Barat sekarang ini secara sadar dan gencar
melakukan imperialisme kultural atas
dunia Islam sehingga proyek modernisme Barat yang dikenalkan pada dunia Islam
tak lain dari sebuah penaklukkan dan dominasi. Penaklukkan ini, kata Esposito,
telah memporakporandakan bangunan sejarah tata nilai dan kelembagaan yang telah
beratus tahun tegak dalam komunitas muslim. Namun demikian, meskipun secara
sosial dunia Islam mengalami kelumpuhan akibat kolonialisme Barat, monoteisme
Islam yang begitu kuat yang telah berakar ratusan tahun dalam sejarah sanggup
menjadi benteng pertahanan dan ruh bagi dunia islam untuk mencoba bangkit
melawan Barat.
Sebagai akibat dari penjajahan itu, jika dalam agenda percaturan
peradaban mondial umat Islam berada di luar panggung permainan, hal itu--di
samping karena kelelahan intelektual yang menimpa dunia Islam--dikarenakan
Barat memang tidak ingin ada kelompok lain yang tampil menyainginya. Kelelahan
intelektual dan psikologis akibat penjajahan ini telah menyebabkan umat Islam
merasa kurang bertanggungjawab atas krisis dunia dan kemanusiaan yang sebagian
besar disebabkan oleh perilaku masyarakat Barat.
Secara psikologis, tidaklah mudah untuk menghapus begitu saja
pengalaman pahit akibat penjajahan Barat atas dunia Islam. Dengan meminjam
istilah Josiah Royce,
jika konsep komunitas itu ditentukan oleh kenangan bersama tentang masa lalu
serta nilai-nilai yang dihayati bersama yang kemudian diproyeksikan ke masa
depan, maka kenangan anti Barat merupakan nilai dan memori yang berkembang
secara turun temurun dari generasi ke generasi umat Islam. Perkembangan ini
bahkan oleh Samuel
Huntington dinilai semakin menguat, karena Barat sendiri
melihat dunia Islam sebagai ancaman terutama setelah jatuhnya komunisme.
Penilaian Huntington ini, menurut hemat saya, bukan mengada-ada, karena dia
sekedar membaca secara jeli terhadap denyut anatomi dan psikologi hubungan
Barat-Islam. Implikasi sinyalemen Huntington ini bagaikan bahan bakar yang
berfungsi mengawetkan api konflik atau "perang terbuka" antara Barat
versus Islam. Dan oleh karenanya pihak diplomat dan beberapa intelektual Amerika
lainnya dibuat sibuk berupaya "menutupi", "meralat" atau
"membantah" deklarasi Huntington yang jujur dan bisa merugikan mereka
sendiri.
Di dalam dunia Islam sendiri isu anti Barat ini kadangkala
dijadikan semacam komoditi "legitimasi" untuk membangun popularitas
dan keabsahan bagi munculnya "pahlawan pembela umat". Dengan cara
melancarkan serangan terhadap Barat, meskipun secara retorik, seseorang akan
mendapat applaus dari umatnya. Sebaliknya, seorang muslim yang dinilai
begitu dekat dengan Barat akan diragukan ketokohan dan loyalitasnya pada
kepentingan Islam. Di Indonesia, juga di beberapa negara di Timur Tengah,
gejala ini tidaklah sulit untuk diamati.
Dari uraian di muka, satu hal yang ingin saya tegaskan di sini
ialah, perasaan terancam dan luka historis dunia Islam akibat penjajahan
cenderung menutupi bagi terciptanya wacana yang jujur antara Barat dan Islam
untuk melihat proyek "modernitas" dan "postmodernitas".
Hubungan antara keduanya lebih diwarnai dengan kepentingan politis-ekonomis,
yaitu relasi kuasa untuk saling menaklukkan ketimbang dialog peradaban yang
saling isi mengisi secara suka rela.
Di mata para pemikir postmodernisme, paradigma modernisme dan
proyek modernisasi dinilai telah gagal atau--yang pasti--mempunyai cacat dan
kelemahan mendasar sehingga dalam berbagai aspeknya harus didekonstruksi.
Tatanan realitas yang dibangun oleh cara pandang modernisme harus dibongkar,
mulai dari tataran epistemologinya. Mengapa? Karena dengan epistemologilah kita
memandang dan mendefinisikan realitas, dan pada urutannya di atas definisi yang
kita susun itulah kita bangun realitas kehidupan. Jika fondasinya sudah salah,
maka fondasinya akan membahayakan kehidupan itu sendiri.
Demikianlah maka kalau kita membicarakan kaitan antara Islam dan
postmodernisme, kita mau tak mau harus juga memeriksa kembali modus
keberagamaan kita, pandangan kita tentang watak bahasa agama, dan bagaimana
bahasa agama tersebut mesti kita sikapi.
@. BIDANG
POLITIK
Donny Gahral Adian
membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan
untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat
postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi
manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral.
Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah
menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar,
partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial
(LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok
kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual,
serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika
kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan
spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai
wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti
adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang
dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001: 95-97).
Semakin
menguatnya
wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan
sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara
maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik
pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".
Semakin
terbukanya
peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara
lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi
proses demokratisasi.
@.BIDANG AGAMA
Timbulnya
pemberontakan
secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama
yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan
pluralisme-relativisme kebenaran.
Munculnya
radikalisme
etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif
ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat
yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi,
sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
@.BIDANG ARSITEKTUR
Postmodernisme lahir di St.
Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan,
proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur
modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang
menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan
manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah
mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah
menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli
1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang
dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa
peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran
postmodernisme
@.BIDANG SENI dan MUSIK
Salah satu
ciri khas dari seni postmodern adalah penggabungan budaya tinggi dan rendah
melalui penggunaan bahan-bahan industri dan citra budaya pop. Postmodern
dorongan dalam musik klasik muncul di tahun 1970-an dengan munculnya musik minimalisme.
Composers such as Terry Riley , John Adams , Steve Reich , Phillip Glass , and Lou Harrison reacted to the perceived elitism
and dissonant sound of atonal academic modernism by producing music with simple
textures and relatively consonant harmonies.
Komposer seperti Terry Riley,
John Adams, Steve Reich,
Phillip Glass, dan Lou Harrison
bereaksi terhadap elitisme yang dirasakan dan suara tanpa nada disonan akademik
modernisme dengan memproduksi musik dengan tekstur yang sederhana dan relatif
konsonan harmoni. Some composers have been openly
influenced by popular music and world ethnic musical traditions.
Beberapa komposer telah secara terbuka dipengaruhi oleh musik populer dan
tradisi musik etnis dunia. Though representing a
general return to certain notions of music-making that are often considered to
be classical or romantic [ citation
needed ]
, not all postmodern composers have eschewed the experimentalist or academic
tenets of modernism. Meskipun umum
mewakili kembali ke pengertian tertentu pembuatan musik yang sering dianggap
sebagai klasik atau romantis [rujukan?], Tidak semua komposer postmodern telah dihindari para pencoba atau
ajaran akademik modernisme. The works of Dutch
composer Louis Andriessen , for example, exhibit
experimentalist preoccupation that is decidedly anti-romantic. Karya-karya komponis Belanda Louis Andriessen, misalnya, menunjukkan pencoba keasyikan yang jelas anti-romantis.
Eclecticism and freedom of expression, in reaction
to the rigidity and aesthetic limitations of modernism, are the hallmarks of
the postmodern influence in musical composition. Eklektisisme dan
kebebasan berekspresi, sebagai reaksi terhadap kekakuan dan keterbatasan
estetika modernisme, adalah keunggulan dari pengaruh postmodern dalam komposisi
musik.
@.BIDANG SOSIAL BUDAYA
Paradoks yang digaris bawahi
Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap
materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat;
masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum
pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara
bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat
yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
Bahasa
yang digunakan dalam
wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan
inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak
mengandung paradoks.
@.BIDANG MEDIA DAN IT
Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari
sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia
menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma
bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian
perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Transparansi Postmodernitas dan masyarakat transparan
Pemberlakuan
ontologi hermeneutika akan membawa postmodernitas sampai pada transparansi diri (self-transparency)
manusia. Pencapaian transparansi diri manusia bukanlah hanya pada rasionya,
tetapi pada keseluruhan dirinya yang terejawantahkan dalam lingkungan tempat
hidupnya, dalam interaksinya dengan manusia lain dan dengan situasi jaman yang
terus berubah. Semuanya itu mengisyaratkan perlunya interpretasi atas
pencapaian diri manusia dalam setiap kesempatan. Hanya dengan itulah
transparansi diri manusia akan dapat dipahami secara benar.
Manusia
akan mencapai transparansi dirinya bukan dalam kerangka sejarah yang unilinier.
Paham sejarah unilinier ikut mengalami kehancuran bersama pemikiran metafisika
Barat yang penuh dengan jaminan metafisis klaim kebenaran idealnya paham
kemanusiaan Barat yang mengutamakan rasio. Paham sejarah yang memusatkan diri
pada suatu pusat sebagai tolok ukur atas peristiwa-peristiwa kemajuan (progress)
dan mengatasi (overcoming) tantangan sebelumnya dalam paham Barat ini
terbukti hanya akan menimbulkan penindasan pada kultur-kultur lainnya karena
dipandang tidak sesuai dan harus disesuaikan dengan paham kesejarahan Barat. Tidak terjaminnya emansipasi yang sama pada
setiap manusia lewat paham sejarah Barat ini menimbulkan pemberontakan dari
subkultur-subkultur yang berniat untuk menunjukkan identitasnya.
Ironinya
bagi modernitas adalah bahwa pemberontakan itu justru terjadi karena teknologi
yang dihasilkannya juga melahirkan masyarakat media komunikasi yang
memungkinkan subkultur dari dalam maupun luar Eropa untuk tampil ke permukaan
dan berbicara atas nama dirinya sendiri. Di sinilah inti argumen Vattimo. Pertama,
lahirnya teknologi dan media massa menentukan lahirnya masyarakat postmodern. Kedua,
masyarakat postmodern ini justru lebih kompleks daripada masyarakat yang
transparan, bahkan cenderung chaotic. Ketiga, namun justru dalam
kekacauan itulah terletak harapan manusia akan emansipasi yang murni, yang akan
menghantar sampai pada transparansi diri sepenuhnya. Penjelasan atas ketiga
argumen tersebut akan diuraikan berikut ini.
Masyarakat
media komunikasi lahir sebagai hasil pembentukan ilmu pengetahuan manusia.
Tujuan pembentukan ilmu pengetahuan itu adalah untuk merasionalisasikan dunia
dalam hubungan sebab akibat yang dapat diatur oleh manusia. Demikian misalnya
usaha yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan alam. Sementara ilmu pengetahuan
sosial lebih menunjukkan karakter komunikatif dari eksistensi manusia modern
yang akan mengembangkan teknologi lebih dari sekedar penguasaan alam dan
menjadi sistem pemancaran informasi.
Usaha ini berlangsung
dengan ‘amat berhasil’ sehingga bagi orang seperti Karl Otto Apel, masyarakat transparan adalah
perwujudan dari ilmu sosial untuk menghasilkan masyarakat komunikasi tak
terbatas. Bagi Vattimo, masyarakat transparan bukanlah seperti itu. Karena jika
demikian, masyarakat tak ubahnya hasil percobaan ilmuwan ilmu pengetahuan alam
ataupun sosial di laboratorium. Sementara ilmu itu sendiri tentu saja juga
tidak bebas nilai. Masyarakat transparan, menurut Vattimo memang terkait
pembentukannya dengan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang mampu
menunjukkan adanya berbagai macam sistem simbolis yang sedang menjadi. Di
sinilah letak kebenaran dan juga keilmiahan ilmu pengetahuan, yaitu ketika ia
tidak hanya berhasil memperlihatkan kepositifannya, melainkan juga berhasil
memperlihatkan adanya kontinuitas, korespondensi, dan dialog antar teks dari
berbagai macam kultur.
Gianni Vattimo memaknai kata
‘transparan’ sebagai suatu keadaan di mana berbagai macam dialektika yang
dijumpai dalam keberasalan masing-masing subkultur masyarakat semakin terbebas,
terdisorientasi dari ideologi tunggal penguasa makna. Saat itu terjadilah apa yang oleh
Heidegger disebut sebagai eksplosi dunia makna (Weltanshauungen).
Realitas sekarang justru terbentuk sebagai interseksi berbagai macam imaji yang
butuh diinterpretasikan dan direkonsiliasikan satu sama lain.
Emansipasi
transparansi diri tercapai ketika pluralitas dunia imaji sampai pada
menghasilkan ‘disorientasi’ dari manusia di akhir modernitas. Artinya membuat
mereka tidak lagi terarahkan pada penguasa tunggal makna dan kebenaran
melainkan pada berbagai sumber kebenaran dan makna. Disorientasi dalam
masyarakat media komunikasi membuat individu berosilasi antara keberasalan (belonging)
dirinya dan berbagai sumber tadi. Semakin tampak pula bahwa pencapaian masyarakat
transparan itu terjadi bukan dalam konteks keterputusan dengan modernitas.
Postmodernitas tidak dapat didefinisikan sebagai sebuah babakan baru dalam
sejarah. Mengartikannya seperti itu hanya akan membawa kembali paham sejarah
unilinier yang sudah terbukti bermasalah. Postmodernitas, sebagai konteks
terjadinya masyarakat transparansi, sebaiknya dipahami sebagai sebuah pelarutan
(dissolution) modernitas. Postmodernitas memang mengandung jejak-jejak
modernitas yang sekaligus menempatkannya dalam arahan baru yang meninggalkan
segala reduksi metafisis atas kemanusiaan seperti yang sudah dijelaskan di
atas. Jejak modern
masih akan diteruskan sambil mengganti corak reduktif akarnya dengan corak
estetis kebenaran postmodernisme. Mengapa corak estetis? Karena lewat
pengalaman estetislah manusia mampu menyadari kontingensi dan relativitas dunia
yang nyata dihidupinya.
Kebenaran Estetis Postmodernisme
- Demitologisasi demitologisasi
Pengalaman
kebenaran dalam postmodernisme dilihat oleh Vattimo paling tampak hadir dalam
fenomena estetika. Seni
dan budaya memang sering menjadi petunjuk sejarah yang memunculkan fenomena
postmodernitas. Awal dari semua itu oleh Vattimo diletakkan pada usaha
modernisme untuk mendemitologisasikan mitos-mitos peradaban yang dianggapnya ‘primitif’
dan berlawanan dengan sains modern. Perubahan pandangan tentang mitos ini terjadi ketika
paham sejarah unilinier yang menyertainya mulai kehilangan legitimasinya.
Seiring dengan perubahan pandangan tentang sejarah ini timbul pula usaha untuk
mendemitologisasikan demitologisasi mitos-mitos ‘primitif’.
Jika
selama ini demitologisasi mitos diarahkan pada telos dalam paham sejarah
unilinier, lalu telos itu sekarang ditiadakan, maka apa yang selanjutnya
dapat dilakukan terhadap demitologisasi mitos (mitos modernitas)? Vattimo
mengusulkan untuk memperlakukannya seperti yang dikatakan oleh Nietzsche, yaitu
sebagai ekspresi nasib (destiny), sebagaimana halnya setiap kebudayaan
dalam era modernitas mengalami proses sekularisasi. Artinya demitologisasi mitos
yang dilakukan modernitas, yang dalam kacamata posmodernitas menjadi mitos,
sekarang sebaiknya dipahami sama seperti nasib mitos ‘kuno’ yang sudah
didemitologisasikan, disekularisasikan dalam modernitas. Jadi dalam
postmodernitas, mitos modernitas tidak diperlakukan sama seperti cara
modernitas memperlakukan mitos kuno. Melainkan diperlakukan secara baru dengan menginterpretasikannya sebagai sebuah
jejak yang sudah terdistorsi dari kesalahannya dan menjadi titik tolak baru
untuk maju lagi. Demikianlah dekonstruksi postmodernis terhadap mitos.
Menutup
pemikiran Gianni Vattimo, dapat disimpulkan bahwa masyarakat transparan adalah masyarakat yang mampu
mengemansipasikan sendiri kebenarannya sesuai dengan lokus hidupnya. Itu
dicapai dengan pemakaian filsafat ontologi hermeneutika. Adalah tugas filsafat
ini untuk terus menginterpretasikan berbagai macam identitas kebenaran individu
demi mendapat kebenaran yang sesuai dengan jaman dan pengalaman hidup manusia.
Cara
penginterpretasian yang dapat membantu menurut Vattimo adalah dengan mendekati
pengalaman kebenaran hidup manusia secara estetis. Karena itu, estetis pulalah corak kebenaran
di era posmodernitas. Vattimo tidak bermaksud untuk menciptakan babakan baru
tentang postmodernitas.
Dalam
The Transparent Society, tampak bagaimana ia semakin menggunakan term
‘postmodern’ dalam arti perenovasian modernitas. Meski juga sering menggunakan
term ‘modernitas akhir’, ia mengatakannya bukan dalam arti keterputusan dengan
modernitas, melainkan demi menentukan dengan tepat perbedaan yang ingin dicapai
dalam era modernitas yang baru, yang sering disebut dengan istilah
postmodernitas. Tekanan Vattimo justru lebih pada pengetengahan unsur-unsur
baru modernitas yang dimaksudkan untuk meluruskan era modernitas dari
kesalahan-kesalahannya. Menyadari kerumitan kontradiksi-kontradiksi yang
dihadapi oleh tuntutan postmodernitas, Vattimo dengan tegas menyatakan bahwa ia
tidak ingin membuat klaim kebenaran suatu pemikiran postmodernis yang
sistematis dan definitif. Yang ingin disumbangkan oleh Vattimo dengan
pemikirannya adalah suatu jalan, betapapun ‘lemah’-nya jalan itu, untuk
mengalami sendiri pengalaman kebenaran bukan sebagai obyek yang sudah mapan,
statis, tetapi sebagai sebuah horison, latar belakang, yang memungkinkan
individu untuk bertindak dengan bijaksana. Dengan kata lain, ia ingin
menyumbangkan sebuah harapan rekonsiliasi.
Penulis: LA ODE MACHDANI AFALA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar