Sabtu, 07 April 2012

Posmodernisme



Istilah "Posmodernisme" bisa menunjuk pada berbagai arti yang berbeda, bisa berarti : aliran pemikiran filsafati; pembabakan sejarah (erat terkait pada pergeseran paradigma); ataupun sikap dasar/ etos tertentu. Masing-masing membawa konsekuensi logis yang berbeda, meskipun bisa saling berkaitan juga. Apabila yang kita maksudkan adalah aliran fllsafat, maka ia menunjuk terutama pada gagasan-gagasan J.F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah itu. Namun bila yang kita maksud adalah babakan sejarah baru yang meninggalkan kerangka berpikir modern ("Pos" modern), maka mereka yang paling sibuk memetakannya adalah Charles Jeneks, Andreas Huysen, David Harvey dll. Di sini orang bisa berdebat dengan sangat nyinyir kapan persisnya terjadi pergeseran paradigma besar-besaran dan apa persis yang bergeser itu sehingga bisa menyebut zaman ini "post"-modern. Jangan-jangan segala pergeseran itu justru radikalisasi dan segala kecenderungan modern sendiri, sehingga alih-alih "post", semua gelagat itu mesti disebut "most" : most-modern. Pada titik inilah kita mesti mendudukan berbagai wacana dan orang-orang macam Habermas, Anthony Giddens, Ernest Geliner dsb.
Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yang cukup lama. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang pertama kali menggunakan istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa istilah tersebut muncul pada suatu waktu pada tahun 1930-an. Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya “Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana” (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme.
Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul “Study of History”. Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau semenjak tahun 1870-an. Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru.
Postmoderisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta – ketika postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern.
Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol, yaitu:
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu.  
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.
Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
Baik dari aspek kajian sosiologis maupun intelektual-filosofis, isu postmodernisme muncul sebagai agenda wacana masyarakat Barat. Sejak 6 abad terakhir praktis kepemimpinan dunia dipegang oleh Barat, setelah sebelumnya oleh dunia Islam. Dunia Islam jauh ketinggalan dalam menyumbangkan peradaban sains dan teknologi dan kreasi-kreasi lain. Islam sebagai paradigma syariat dan teologi memang kelihatan masih kokoh (untuk tidak mengatakan jumud atau beku), tetapi Islam sebagai paradigma peradaban berada di luar panggung permainan, dan cenderung sebagai penonton yang "cemburu".
Sejarah mencatat bahwa loncatan-loncatan kreasi dan inovasi intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan dengan Barat. Hal ini terjadi begitu menyolok ketika Islam berjumpa dengan warisan intelektual Yunani. Karya-karya intelektual Islam terbaik dan amat monumental terbentuk pada abad-abad pertengahan di mana pergulatan berlangsung begitu intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir muslim Arab Persia khususnya.
Kontak kedua yang juga amat menentukan dalam perkembangan Islam terjadi pada awal abad ke-20 ini. Gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam merebak setelah Islam berjumpa dengan Barat modern. Hampir semua tokoh modernis dalam Islam adalah mereka yang memiliki apresiasi kritis terhadap intelektualisme Barat. Pada fase ini kontak dengan Barat memberikan pencerahan dalam pemikiran politik dan apresiasi teknologi. Pada penghujung abad 20 ini, setelah Perang Dunia I dan II kelihatannya pola hubungan Islam-Barat melahirkan nuansa-nuansa baru. Pada fase ketiga inilah postmodernisme masuk sebagai salah satu agenda, meskipun bagi mayoritas pemikir muslim, ia tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari paradigma westernisme-modernisme.
Dengan mengamati buku-buku mutakhir yang berkenaan dengan hubungan Barat dan Islam, terdapat indikasi yang kuat bahwa respons dunia Islam, terdapat Barat lebih diwarnai dengan semangat politis-ideologis. Karya John Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (1992), dengan bagus mencoba menjelaskan hubungan Barat dan Islam yang selalu ditandai konflik.
Menurut Hassan Hanafi, sebagaimana dikemukakan oleh Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme (1993), Barat sekarang ini secara sadar dan gencar melakukan imperialisme kultural atas dunia Islam sehingga proyek modernisme Barat yang dikenalkan pada dunia Islam tak lain dari sebuah penaklukkan dan dominasi. Penaklukkan ini, kata Esposito, telah memporakporandakan bangunan sejarah tata nilai dan kelembagaan yang telah beratus tahun tegak dalam komunitas muslim. Namun demikian, meskipun secara sosial dunia Islam mengalami kelumpuhan akibat kolonialisme Barat, monoteisme Islam yang begitu kuat yang telah berakar ratusan tahun dalam sejarah sanggup menjadi benteng pertahanan dan ruh bagi dunia islam untuk mencoba bangkit melawan Barat.
Sebagai akibat dari penjajahan itu, jika dalam agenda percaturan peradaban mondial umat Islam berada di luar panggung permainan, hal itu--di samping karena kelelahan intelektual yang menimpa dunia Islam--dikarenakan Barat memang tidak ingin ada kelompok lain yang tampil menyainginya. Kelelahan intelektual dan psikologis akibat penjajahan ini telah menyebabkan umat Islam merasa kurang bertanggungjawab atas krisis dunia dan kemanusiaan yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku masyarakat Barat.
Secara psikologis, tidaklah mudah untuk menghapus begitu saja pengalaman pahit akibat penjajahan Barat atas dunia Islam. Dengan meminjam istilah Josiah Royce, jika konsep komunitas itu ditentukan oleh kenangan bersama tentang masa lalu serta nilai-nilai yang dihayati bersama yang kemudian diproyeksikan ke masa depan, maka kenangan anti Barat merupakan nilai dan memori yang berkembang secara turun temurun dari generasi ke generasi umat Islam. Perkembangan ini bahkan oleh Samuel Huntington dinilai semakin menguat, karena Barat sendiri melihat dunia Islam sebagai ancaman terutama setelah jatuhnya komunisme. Penilaian Huntington ini, menurut hemat saya, bukan mengada-ada, karena dia sekedar membaca secara jeli terhadap denyut anatomi dan psikologi hubungan Barat-Islam. Implikasi sinyalemen Huntington ini bagaikan bahan bakar yang berfungsi mengawetkan api konflik atau "perang terbuka" antara Barat versus Islam. Dan oleh karenanya pihak diplomat dan beberapa intelektual Amerika lainnya dibuat sibuk berupaya "menutupi", "meralat" atau "membantah" deklarasi Huntington yang jujur dan bisa merugikan mereka sendiri.
Di dalam dunia Islam sendiri isu anti Barat ini kadangkala dijadikan semacam komoditi "legitimasi" untuk membangun popularitas dan keabsahan bagi munculnya "pahlawan pembela umat". Dengan cara melancarkan serangan terhadap Barat, meskipun secara retorik, seseorang akan mendapat applaus dari umatnya. Sebaliknya, seorang muslim yang dinilai begitu dekat dengan Barat akan diragukan ketokohan dan loyalitasnya pada kepentingan Islam. Di Indonesia, juga di beberapa negara di Timur Tengah, gejala ini tidaklah sulit untuk diamati.
Dari uraian di muka, satu hal yang ingin saya tegaskan di sini ialah, perasaan terancam dan luka historis dunia Islam akibat penjajahan cenderung menutupi bagi terciptanya wacana yang jujur antara Barat dan Islam untuk melihat proyek "modernitas" dan "postmodernitas". Hubungan antara keduanya lebih diwarnai dengan kepentingan politis-ekonomis, yaitu relasi kuasa untuk saling menaklukkan ketimbang dialog peradaban yang saling isi mengisi secara suka rela.
Di mata para pemikir postmodernisme, paradigma modernisme dan proyek modernisasi dinilai telah gagal atau--yang pasti--mempunyai cacat dan kelemahan mendasar sehingga dalam berbagai aspeknya harus didekonstruksi. Tatanan realitas yang dibangun oleh cara pandang modernisme harus dibongkar, mulai dari tataran epistemologinya. Mengapa? Karena dengan epistemologilah kita memandang dan mendefinisikan realitas, dan pada urutannya di atas definisi yang kita susun itulah kita bangun realitas kehidupan. Jika fondasinya sudah salah, maka fondasinya akan membahayakan kehidupan itu sendiri.
Demikianlah maka kalau kita membicarakan kaitan antara Islam dan postmodernisme, kita mau tak mau harus juga memeriksa kembali modus keberagamaan kita, pandangan kita tentang watak bahasa agama, dan bagaimana bahasa agama tersebut mesti kita sikapi.
@. BIDANG POLITIK
Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001: 95-97).
Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".
Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
@.BIDANG AGAMA
Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

@.BIDANG ARSITEKTUR
Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme
@.BIDANG SENI dan MUSIK
Salah satu ciri khas dari seni postmodern adalah penggabungan budaya tinggi dan rendah melalui penggunaan bahan-bahan industri dan citra budaya pop. Postmodern dorongan dalam musik klasik muncul di tahun 1970-an dengan munculnya musik minimalisme. Composers such as Terry Riley , John Adams , Steve Reich , Phillip Glass , and Lou Harrison reacted to the perceived elitism and dissonant sound of atonal academic modernism by producing music with simple textures and relatively consonant harmonies. Komposer seperti Terry Riley, John Adams, Steve Reich, Phillip Glass, dan Lou Harrison bereaksi terhadap elitisme yang dirasakan dan suara tanpa nada disonan akademik modernisme dengan memproduksi musik dengan tekstur yang sederhana dan relatif konsonan harmoni. Some composers have been openly influenced by popular music and world ethnic musical traditions. Beberapa komposer telah secara terbuka dipengaruhi oleh musik populer dan tradisi musik etnis dunia. Though representing a general return to certain notions of music-making that are often considered to be classical or romantic [ citation needed ] , not all postmodern composers have eschewed the experimentalist or academic tenets of modernism. Meskipun umum mewakili kembali ke pengertian tertentu pembuatan musik yang sering dianggap sebagai klasik atau romantis [rujukan?], Tidak semua komposer postmodern telah dihindari para pencoba atau ajaran akademik modernisme. The works of Dutch composer Louis Andriessen , for example, exhibit experimentalist preoccupation that is decidedly anti-romantic. Karya-karya komponis Belanda Louis Andriessen, misalnya, menunjukkan pencoba keasyikan yang jelas anti-romantis. Eclecticism and freedom of expression, in reaction to the rigidity and aesthetic limitations of modernism, are the hallmarks of the postmodern influence in musical composition. Eklektisisme dan kebebasan berekspresi, sebagai reaksi terhadap kekakuan dan keterbatasan estetika modernisme, adalah keunggulan dari pengaruh postmodern dalam komposisi musik.

@.BIDANG SOSIAL BUDAYA
Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
Bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.

@.BIDANG MEDIA DAN IT
Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

Transparansi Postmodernitas dan masyarakat transparan

Pemberlakuan ontologi hermeneutika akan membawa postmodernitas sampai pada transparansi diri (self-transparency) manusia. Pencapaian transparansi diri manusia bukanlah hanya pada rasionya, tetapi pada keseluruhan dirinya yang terejawantahkan dalam lingkungan tempat hidupnya, dalam interaksinya dengan manusia lain dan dengan situasi jaman yang terus berubah. Semuanya itu mengisyaratkan perlunya interpretasi atas pencapaian diri manusia dalam setiap kesempatan. Hanya dengan itulah transparansi diri manusia akan dapat dipahami secara benar.
Manusia akan mencapai transparansi dirinya bukan dalam kerangka sejarah yang unilinier. Paham sejarah unilinier ikut mengalami kehancuran bersama pemikiran metafisika Barat yang penuh dengan jaminan metafisis klaim kebenaran idealnya paham kemanusiaan Barat yang mengutamakan rasio. Paham sejarah yang memusatkan diri pada suatu pusat sebagai tolok ukur atas peristiwa-peristiwa kemajuan (progress) dan mengatasi (overcoming) tantangan sebelumnya dalam paham Barat ini terbukti hanya akan menimbulkan penindasan pada kultur-kultur lainnya karena dipandang tidak sesuai dan harus disesuaikan dengan paham kesejarahan Barat.  Tidak terjaminnya emansipasi yang sama pada setiap manusia lewat paham sejarah Barat ini menimbulkan pemberontakan dari subkultur-subkultur yang berniat untuk menunjukkan identitasnya.
Ironinya bagi modernitas adalah bahwa pemberontakan itu justru terjadi karena teknologi yang dihasilkannya juga melahirkan masyarakat media komunikasi yang memungkinkan subkultur dari dalam maupun luar Eropa untuk tampil ke permukaan dan berbicara atas nama dirinya sendiri. Di sinilah inti argumen Vattimo. Pertama, lahirnya teknologi dan media massa menentukan lahirnya masyarakat postmodern. Kedua, masyarakat postmodern ini justru lebih kompleks daripada masyarakat yang transparan, bahkan cenderung chaotic. Ketiga, namun justru dalam kekacauan itulah terletak harapan manusia akan emansipasi yang murni, yang akan menghantar sampai pada transparansi diri sepenuhnya. Penjelasan atas ketiga argumen tersebut akan diuraikan berikut ini.
Masyarakat media komunikasi lahir sebagai hasil pembentukan ilmu pengetahuan manusia. Tujuan pembentukan ilmu pengetahuan itu adalah untuk merasionalisasikan dunia dalam hubungan sebab akibat yang dapat diatur oleh manusia. Demikian misalnya usaha yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan alam. Sementara ilmu pengetahuan sosial lebih menunjukkan karakter komunikatif dari eksistensi manusia modern yang akan mengembangkan teknologi lebih dari sekedar penguasaan alam dan menjadi sistem pemancaran informasi.
Usaha ini berlangsung dengan ‘amat berhasil’ sehingga bagi orang seperti Karl Otto Apel, masyarakat transparan adalah perwujudan dari ilmu sosial untuk menghasilkan masyarakat komunikasi tak terbatas. Bagi Vattimo, masyarakat transparan bukanlah seperti itu. Karena jika demikian, masyarakat tak ubahnya hasil percobaan ilmuwan ilmu pengetahuan alam ataupun sosial di laboratorium. Sementara ilmu itu sendiri tentu saja juga tidak bebas nilai. Masyarakat transparan, menurut Vattimo memang terkait pembentukannya dengan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang mampu menunjukkan adanya berbagai macam sistem simbolis yang sedang menjadi. Di sinilah letak kebenaran dan juga keilmiahan ilmu pengetahuan, yaitu ketika ia tidak hanya berhasil memperlihatkan kepositifannya, melainkan juga berhasil memperlihatkan adanya kontinuitas, korespondensi, dan dialog antar teks dari berbagai macam kultur.
Gianni Vattimo memaknai kata ‘transparan’ sebagai suatu keadaan di mana berbagai macam dialektika yang dijumpai dalam keberasalan masing-masing subkultur masyarakat semakin terbebas, terdisorientasi dari ideologi tunggal penguasa makna. Saat itu terjadilah apa yang oleh Heidegger disebut sebagai eksplosi dunia makna (Weltanshauungen). Realitas sekarang justru terbentuk sebagai interseksi berbagai macam imaji yang butuh diinterpretasikan dan direkonsiliasikan satu sama lain.
Emansipasi transparansi diri tercapai ketika pluralitas dunia imaji sampai pada menghasilkan ‘disorientasi’ dari manusia di akhir modernitas. Artinya membuat mereka tidak lagi terarahkan pada penguasa tunggal makna dan kebenaran melainkan pada berbagai sumber kebenaran dan makna. Disorientasi dalam masyarakat media komunikasi membuat individu berosilasi antara keberasalan (belonging) dirinya dan berbagai sumber tadi. Semakin tampak pula bahwa pencapaian masyarakat transparan itu terjadi bukan dalam konteks keterputusan dengan modernitas. Postmodernitas tidak dapat didefinisikan sebagai sebuah babakan baru dalam sejarah. Mengartikannya seperti itu hanya akan membawa kembali paham sejarah unilinier yang sudah terbukti bermasalah. Postmodernitas, sebagai konteks terjadinya masyarakat transparansi, sebaiknya dipahami sebagai sebuah pelarutan (dissolution) modernitas. Postmodernitas memang mengandung jejak-jejak modernitas yang sekaligus menempatkannya dalam arahan baru yang meninggalkan segala reduksi metafisis atas kemanusiaan seperti yang sudah dijelaskan di atas. Jejak modern masih akan diteruskan sambil mengganti corak reduktif akarnya dengan corak estetis kebenaran postmodernisme. Mengapa corak estetis? Karena lewat pengalaman estetislah manusia mampu menyadari kontingensi dan relativitas dunia yang nyata dihidupinya.

Kebenaran Estetis Postmodernisme

  1. Demitologisasi demitologisasi
Pengalaman kebenaran dalam postmodernisme dilihat oleh Vattimo paling tampak hadir dalam fenomena estetika. Seni dan budaya memang sering menjadi petunjuk sejarah yang memunculkan fenomena postmodernitas. Awal dari semua itu oleh Vattimo diletakkan pada usaha modernisme untuk mendemitologisasikan mitos-mitos peradaban yang dianggapnya ‘primitif’ dan berlawanan dengan sains modern. Perubahan pandangan tentang mitos ini terjadi ketika paham sejarah unilinier yang menyertainya mulai kehilangan legitimasinya. Seiring dengan perubahan pandangan tentang sejarah ini timbul pula usaha untuk mendemitologisasikan demitologisasi mitos-mitos ‘primitif’.
Jika selama ini demitologisasi mitos diarahkan pada telos dalam paham sejarah unilinier, lalu telos itu sekarang ditiadakan, maka apa yang selanjutnya dapat dilakukan terhadap demitologisasi mitos (mitos modernitas)? Vattimo mengusulkan untuk memperlakukannya seperti yang dikatakan oleh Nietzsche, yaitu sebagai ekspresi nasib (destiny), sebagaimana halnya setiap kebudayaan dalam era modernitas mengalami proses sekularisasi. Artinya demitologisasi mitos yang dilakukan modernitas, yang dalam kacamata posmodernitas menjadi mitos, sekarang sebaiknya dipahami sama seperti nasib mitos ‘kuno’ yang sudah didemitologisasikan, disekularisasikan dalam modernitas. Jadi dalam postmodernitas, mitos modernitas tidak diperlakukan sama seperti cara modernitas memperlakukan mitos kuno. Melainkan diperlakukan secara baru dengan menginterpretasikannya sebagai sebuah jejak yang sudah terdistorsi dari kesalahannya dan menjadi titik tolak baru untuk maju lagi. Demikianlah dekonstruksi postmodernis terhadap mitos.
Menutup pemikiran Gianni Vattimo, dapat disimpulkan bahwa masyarakat transparan adalah masyarakat yang mampu mengemansipasikan sendiri kebenarannya sesuai dengan lokus hidupnya. Itu dicapai dengan pemakaian filsafat ontologi hermeneutika. Adalah tugas filsafat ini untuk terus menginterpretasikan berbagai macam identitas kebenaran individu demi mendapat kebenaran yang sesuai dengan jaman dan pengalaman hidup manusia.
Cara penginterpretasian yang dapat membantu menurut Vattimo adalah dengan mendekati pengalaman kebenaran hidup manusia secara estetis. Karena itu, estetis pulalah corak kebenaran di era posmodernitas. Vattimo tidak bermaksud untuk menciptakan babakan baru tentang postmodernitas.
Dalam The Transparent Society, tampak bagaimana ia semakin menggunakan term ‘postmodern’ dalam arti perenovasian modernitas. Meski juga sering menggunakan term ‘modernitas akhir’, ia mengatakannya bukan dalam arti keterputusan dengan modernitas, melainkan demi menentukan dengan tepat perbedaan yang ingin dicapai dalam era modernitas yang baru, yang sering disebut dengan istilah postmodernitas. Tekanan Vattimo justru lebih pada pengetengahan unsur-unsur baru modernitas yang dimaksudkan untuk meluruskan era modernitas dari kesalahan-kesalahannya. Menyadari kerumitan kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi oleh tuntutan postmodernitas, Vattimo dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak ingin membuat klaim kebenaran suatu pemikiran postmodernis yang sistematis dan definitif. Yang ingin disumbangkan oleh Vattimo dengan pemikirannya adalah suatu jalan, betapapun ‘lemah’-nya jalan itu, untuk mengalami sendiri pengalaman kebenaran bukan sebagai obyek yang sudah mapan, statis, tetapi sebagai sebuah horison, latar belakang, yang memungkinkan individu untuk bertindak dengan bijaksana. Dengan kata lain, ia ingin menyumbangkan sebuah harapan rekonsiliasi. 

Penulis: LA ODE MACHDANI AFALA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar